Kamis, 12 April 2012

Prestasi Akademik Bukan Segalanya

Oleh : Usep Saefurohman
Guru SD Islam Terpadu Bina Muda Cicalengka dan MA Quwatul Iman, Pacet Kabupaten Bandung
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
Koran Pikiran Rakyat, Kamis 5 April 2012
 

Dunia pendidikan kita masih menjadikan prestasi akademik sebagai emas berharga yang menjadi tujuan akhir dari setiap proses pembelajaran di sekolah. Para guru menjejali siswanya dengan muatan-muatan akademik yang diakhiri oleh tes-tes standar dengan harapan meraih nilai tinggi. Nilai ini berupa angka-angka yang kemudian dijadikan hakim untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan belajar siswa.
Orang tua pun senang data nilai sembilan untuk matematika, fisik, kimia dan biologi berderet menghiasi kolom rapor sang anak. Tetapi tidak kecewa dengan nilai enam untuk musik, kesenian, dan olah raga. Pemerintah tidak mau kalah, olimpiade-olimpiade pun digelar sebagai media untuk mempertontonkan kehebatan siswa. Ujung-ujungnya, anak dipaksa bergelut hidup mati dengan soal-soal ujian sekolah dan Ujian Nasional.
Prestasi akademik memandang tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi siswa meraih nilai tertinggi dan nilai standar, terutama pelajaran-pelajaran yang termasuk bagian inti kurikulum. Akibatnya, kita digiring pada paradigma yang memisahkan antara pelajaran penting dan tidak penting. Pemisahan ini seolah menganak-emaskan pelajaran tertentu dan menganak-tirikan pelajaran yang lain.
Prestasi akademik cenderung pada kurikulum akademik yang ketat, seragam dan wajib bagi semua siswa. Ini menyiratkan bahwa persyaratan akademik dibuat lebih berat daripada sebelumnya. Situasi seperti ini menuntut siswa menerima pelajaran yang makin lama makin sulit, mendengarkan penjelasan guru lebih lama, belajar lebih keras, dan mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak daripada yang mereka alami sebelumnya. Semua ini diyakinisebagai cara belajar hebat untuk meningkatkan prestasi akademik. Dampak negatifnya, ini akan mendorong proses pembelajaran hanya untuk mempersiapkan menghadapi ujian.
Pengutamaan prestasi akademik selalu bersifat membandingkan dengan penilaian normative. Ini mengacu pada proses membandingkan kinerja akademik siswa dalam tes standar dengan siswa lain. Konsekuensinya, muncul dikotomi siswa pintar dan siswa bodoh, siswa cepat dan siswa lambat dengan tingkat persaingan yang tajam diantara mereka. Biasanya, siswa pintar-cepat akan mendapat perlakuan khusus dan istimewa dari gurunya, tetapi tidak demikian dengan siswa yang bodoh-lambat.
Jika merujuk pada perkembangan manusia seutuhnya, semestinya kita menggunakan penilaian “ipsatif” sebagai tolok ukurnya. Ipsatif berarti “dari diri”. Dalam konteks penilaian pendidikan, berarti membandingkan kinerja siswa masa kini dengan kinerja sebelumnya, bukan membandingkan dengan kinerja siswa yang lain. Dengan demikian, kita bisa melihat kemajuan siswa secara alami. Ini memungkinkan siswa untuk bersaing dan berkompetisi dengan dirinya sendiri dari waktu ke waktu, demi kemajuan yang lebih baik dari hari ke hari.
Seharusnya kita menyadari, pendidikan bukanlah semata-mata bertujuan untuk meraih prestasi akademik setinggi-tingginya dengan mengabaikan fitrah dan potensi kemausiaan siswa. Pendidikan harus menjadi media petualangan siswauntuk menemukan hakikat diri, potensi kecerdasan, keunikan, minat dan bakatnya agar mereka siap dan berani menghadapi realitas hidup dengan segala problematikanya.

2 komentar:

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini