Kamis, 12 April 2012

Siswa SMA pun Bisa Berproduksi

Oleh : Adam Hermawan
          Guru Bahasa Indonesia di Sekolah Madani, Parung-Bogor
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Senin 2 April 2012

Tingkat konsumsi masyarakat Indonesia berada pada tataran yang akut. Negeri uang menurut sensus Badan Pusat Statistik tahun 2010 penduduknya mencapai 237 juta jiwa ini hanya menjelma bukan sebagai produsen, tetapi malah menjadi pasar yang empuk bagi negera lain. Berdasarkan data dari AC Nielsen yang disampaikan Ketua Indonesian Islamic Business Forum, Heppy Tranggono, Indonesia berpredikat sebagai negara terkonsumtif kedua di dunia setelah singapura. Akan tetapi, Singapura masih jauh lebih baik karena nilai ekspornya lebih tinggi dari Indonesia.
Pada satu sisi, kondisi tersebut menunjukkan bahwa daya beli masyarakat kita sudah berada di tingkat yang baik. Bahkan tidak menurun di tengah gejolak kenaikan harga bahan bakar minyak ini. Namun, apakah kenyataannya benar demikian? Apakah tingginya tingkat konsumsi itu bukan karena kita masih miskin kreativitas untuk memproduksi? Lemahnya daya produksi kita ini sangat dikhawatirkan Bung Karno puluhan tahun lalu. Ia menyatakan bahwa bangsa ini akan menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.
Untungnya, sebuah oase muncul di tengah gurun konsumerisme saat ini. Kita gembira dengan kreativitas pelajar di sekolah kejuruan si Solo yang meluncurkan mobil Kiat Esemka atau Esemka Rajawali.
Inilah bentuk belajar yang nyata. Siswa mendapatkan teori, memahami, lalu mengejawantahkannya menjadi wujud yang tak lagi imajinatif. Hal ini pula yang membuat pemahaman terhadap ilmu-ilmu yang mereka dapatkan menjadi abadi. Bentuk belajar seperti itu sangat bermakna karena pembelajaran menurut Ki Hajar Dewantara bukan hanya membobotkan diri pada sisi daya cipta (kognitif) dan daya karya (konatif).
Belajar harus membuat siswa mampu mengenal dirinya dan memahami realitas dunianya. Realitas dunia yang mereka hadapi di negeri ini sekarang adalah 8,12 juta orang menganggur. Karenanya, siswa harus diajak memahami keadaan itu kemudian mencari solusinya. Salah satu jalan keluar untuk mengurangi pengangguran sekaligus mengikis budaya konsumtif adalah dengan cara mengoptimalkan daya karsa siswa melalui kegiatan produksi yang dimulai di sekolah.
Sekolah harus menjadi pelopor dan titik balik dari konsumtif menjadi produktif. Adapun kegiatan berproduksi ini tak hanya monopoli sekolah kejuruan, tetapi juga harus menjadi bagian dari kegiatan pembelajaran di sekolah menengah umum. Bila ada anggapan ihwal apa yang bisa diperbuat siswa SMA dalam proses produksi bila belajarnya hanya teori dan menyelesaikan soal, jawabannya silakan lihat buku rapor bayangan siswa yang setelah pelaksanaan Ujian Tengah Semester (UTS) ini dibagikan.
Kita akan melihat kolom nilai prakikum, siswa juga mendapatkan penugasan berupa proyek. Nah, kegiatan praktikum dan proyek inilah yang bisa dijadikan modal awal untuk berproduksi. Siswa jurusan IPA bisa membuat produk yang berkaitan dengan ilmu sainsnya. Siswa IPS bisa mempraktikan kegiatan ekonominya, dan siswa jurusan bahasa bisa menulis untuk kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku.
Janganlah kita terlalu dininabobokan oleh kemudahan mendapatkan berbagai barang kebutuhan sehari-hari. Jangan pula ada yang beranggapan, berproduksi itu bukan tugas negara kita.
Intinya, berhentilah makan sebelum engkau kenyang. Begitu kata Rasulullah saw. Artinya, pola hidup konsumtif yang berlebihan itu tidak sesuai dengan ajaran agama, melainkan juga tidak sehat untuk kehidupan bernegara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini