Rabu, 25 April 2012

Ironisme Plagiarisme di Perguruan Tinggi

Oleh : Encon Rahman
          Guru SD Negeri Mekarwangi 1 Kec. Argapura, Kab. Majalengka
          Artikel ini pernah dimuat di rubrik Forum Guru
          Koran Pikiran Rakyat, Kamis 8 Maret 2012



Diduga kasus plagiarisme bukan cuma terjadi di perguruan tinggi yang disebutkan dalam surat Dikti. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jawa Barat Didi Turmudzi menduga kasus-kasus serupa terjadi di semua perguruan tinggi, bukan hanya terjadi pada kandidat guru besar, melainkan juga di kalangan akademisi lain (Pikiran Rakyat, 4/3/12).
Fenomena plagiarisme di perguruan tinggi bukan saja “memamerkan” kebobrokan ruang akademisi kita, sekaligus sebagai potret buram rendahnya kejujuran seorang intelektual dalam tataran akademik. Terlepas, plagiarisme di pandang sebagai aksi criminal di dunia akademik, saya menilai plagiarisme merupakan bagian dari budaya (kultur) perguruan tinggi (PT) kita yang sangat kental.
Eksistensi budaya plagiarisme di PT bermula dari ketidakmampuan mahasiswa dalam menuangkan gagasan secara tertulis. Kondisi tersebut dipicu pula oleh rendahnya keterampilan membaca. Dan realita ini, lahirlah budaya instan yang memalukan, plagiarisme!
Penulis besar adalah pembaca besar. Dengan kata lain, sebuah keniscayaan jika seorang penulis besar bukan pembaca besar. Oleh sebab itu, harap maklum jika plagiarisme di PT merupakan kultur tak terbantahkan. Argumentasi ini bukan sekadar isapan jempol semata, mari kita mencermati seberapa banyak koleksi buku yang dimiliki mahasiswa bahkan dosen PT di negeri ini.
Jika kita jujur, koleksi buki referensi yang dimiliki setiap mahasiswa S-1, S-2, atau S-3 masih dikatakan belum sepadan dengan tingkat intelektual mereka. Padahal, koleksi buku merupakan salah satu bentuk fiksi dari intelektualitas akademik seseorang.
Dengan demikian, tak mengherankan jika hingga detik ini, budaya menulis skripsi, tesis, disertasi, atau menjadi kandidat guru besar masih dianggap beban dalam penyelesaian studi/jabatan di perguruan tinggi. Karya tulis ilmiah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan atau kenaikan jabatan di PT akhirnya menjadi momok bagi kalangan akademik. Sebagai jalan pintas dalam mengatasi persoalankemampuan menulis yang sangat rendah, banyak kalangan akademik akhirnya melakukan plagiat atau memesan karya tulis kepada orang lain (ghost writer).
Merebaknya persoalan plagiarisme di perguruan tinggi setidaknya menyadarkan ingatan kita bahwa PT dengan segala atribut keilmuwan dan keilmiahannya mestinya senantiasa menjadikan karya tulis sebagai suatu kewajaran atau keharusan, tidak menjadikan tabu dan dianggap menghambat. Justru, tanpa aktivitas karya tulis, sebuah PT akan kehilangan esensi dan jati diri. Dengan demikian, kasus plagiarisme di PT merupakan tamparan keras (baca:ngisinkeun!) bagi seluruh akademisi (dosen dan mahasiswa) PT yang bersangkutan, tanpa kecuali.
Karya tulis yang berasal dari penelitian merupakaan kegiatan dalamupaya menghasilkan pengetahuan empirik, konsep, metodologi, atau informasi baru yang dapat memperkaya ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Demikian pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) menandaskan. Itulah sebabya, karya tulis atau kenaikan jabatan jangan sampai ternodai oleh budaya plagiarisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini