Senin, 16 April 2012

Pendidikan Transformatif

Oleh : Achmad Mudrika
          Pengajar di Ponpes Pembangunan "Sumur Bandung" Cililin
          Dosen FKIP Uninus Bandung


Ujian Nasional bagi siswa SMA dan sederajat mulai kembali dilaksanakan pada tahun ini. Dibayang-bayangi dengan berbagai indikasi kecurangan dan kontroversi tentang layak tidaknya dijadikan sebagai penentu kelulusan, pemerintah dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional bersikukuh melaksanakan Ujian Nasional yang akan dijadikan sebagai penentu kelulusan. Siapa pun kita, apalgi sebagai bagian dari pejabat pendidikan Nasional, apakah para pejabat sekolah, apakah para guru, apakah para orang tua siswa, sampai siswa sendiri, mau tidak mau harus menghadapi kenyataan ini dan mendukung serta melaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Membuka kembali perdebatan tentang perlu atau tidaknya Ujian Nasional dilaksanakan atau dijadikan sebagai penentu kelulusa, saat ini sudah tak berguna dan tak diperlukan. Mencoba memahami posisi masing-masing pendapat dintijau dari transformasi pendidikan di negeri ini rasanya dapat lebiih memberikan solusi dibandingkan dengan memperdebatkannya kembali yang justru memperuncing keadaan dan malah tak mendukung terhadap keberhasilan pelaksanaan Ujian Nasional itu sendiri.
Transformasi pendidikan menurut Buchori (1995:1) adalah perubahan wajah dan watak pendidikan. Perubahan pendidikan yang terjadi di negeri ini ditinjau dari pendidikan formal maupun nonformal memang terasa sekali baik dari sisi kuantitas maupun kualitas berdasarkan kecenderungan kebutuuhan masyarakat terhadap dua jenis pendidikan ini. Perubahan, menurut Buchori (1995:12), tidak selamanya mengarah pada kemajuan, demikian pula sebaliknya tidak selalu menghasilkan kemunduran. Perubahan yang baik adalah perubahan yang terkendali dalam arti mampu mengoptimalkan kemajuan dan meminimalkan kemunduran dalam prosesnya.
Mengendalikan transformasi pendidikan juga terkai dengan apayang perlu dilakukan oleh pendidikan dalam menanggapi berbagai jenis imperatif baik yang berhubungan dengan politik, lingkungan ekonomi, maupun lingkungan teknologi. Dengan melaksanakan transformasi pendidikan yang mampu memaksimumkan kemajuan melalui pengendalian dan penerjemahan yang akurat terhadap berbagai persoalan yang harus dihadapi, harapan akan adanya suatu sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan di masa depan akan semakin terbuk. Sistem pendidikan demikianlah yang dapat disebut sebagai pendidikan transformatif. Pendidikan transformatif dengan demikian dapat mengatasi persoalan yang dihadapi seluruh lapisan masyarakat yang seharusnya memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan baik formal maupun nonformal, karena keduanya telah relevan dengan tuntutan di masa depan.
Pendidikan transformatif yang seharusnya mengatasi persoalan untuk menjawab tantangan di masa depan ternyata masih belum dapat berlaku di negeri ini. Kecenderungan untuk memperdebatkan pelaksanaan Ujian Nasional yang notabene—menurut pemegang kebijakan—menguji kemampuan para peserta didik untuk dapat menyelesaikan soal-soal yang “hanya”mengukur “standar” kompentensi mereka, menunjukkan bahwa ada persoalan yang belum disepakati tentang makna standar itu sendiri. Kecenderungan terjadinya kecurangan dalam setiap pelaksanaan Ujian Nasional yang tampak dari pengamanan berlebihan baik berupa pembuatan lima paket soal untuk setiap ruang ujian maupun pengawasan beberapa pihak di luar sekolah yang terkesan tak mempercayai sepenuhnya terhadap kejujuran dari panitia pelaksanaan atau pihak sekolah, juga merupakan bentuk dari perbedaan pemahaman antara para pemegang kebijakan dan pelaksanaan di lapangan tentang makna standar.
Bagaimana dapat disebut sebagai “standar” jika para guru justru malah mencurahkan perhatian sepenuhnya terhadap upaya mencapainya dengan berbagai cara, termasuk men-drill siswa dalam menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional. Bagaimana dapat disebut sebagai “standar” jika setiap pelaksanaan Ujian Nasional selalu membuat banyak pihak merasa ragu terhadap kelulusan parapeserta didik. Bagaimana mungkin sistem pendidikan kita dapat mencapaiderajat pendidikan transformatif apabila tujuan utama pendidikan selalu terlupakan akibat disibukkannya para guru dan tenaga kependidikan oleh hal-hal yang hanya bersifat standar. Bagaimana mungkin pendidikan pendidikan transformatif dari sitem pendidikan kita dapat diraih jika siswa yang tak mencapai standar kelulusan si sekolah formal seolah tak memperoleh alternatif lain untuk menyongsong masa depannya.
Dari tulisan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa perubahan kuantitas ternyata tak berbanding lurus dengan kualitas pendidikan itu sendiri baik formal maupun nonformal. Demikian pula dengan perubahan kualitas sarana prasarana ataupun sumber daya manusia yang terlibat dalam pendidikan ternyata justru masih mengidentifikasikan adanya kemunduran  sebagai hasil dari suatu perubahan. Kecenderungan terjadinya kecuranganmengidentifikasikan kesiapan sistem pendidikan dalam menyediakan pendidikan nonformal yangmenjanjikan dan menjamin peserta didik yang tak mencapai standar kelulusan di pendidikan formal untuk dapat tetap berkiprah demi menyongsong masa depan. Akibatnya, kelulusan peserta didik seolah merupakan harga mati dari sistemevaluasi bernama Ujian Nasional. Padahal, di ana pun yang bernama ujian, ketika dia merupakan proses evaluasi yang akan menentukan kelulusan, seharusnya menghasilkan dua kemungkinan yakni lulus dan tak lulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana komentar anda tentang artikel ini